KISAH TIGA AYAH YANG DITUDUH GILA
Di mataku perempuan itu bergaun
ungu. Gaun terusan dengan motif kembang-kembang putih diantara dada dan perut.
Wajahnya ayu dan segar dengan hidung yang bangir. Hingga kini aku datang dengan
pandangan sekelebat. Persoalannya sederhana, karena aku pernah disapa dengan
sapaan yang membuatku gugup. Aku merasa pernah akrab dengannya tapi tak tahu
kapan.
Kala
itu senja. Aku bermain dipagar tanaman dengan kupu-kupu. Kemudian sampailah aku
ke sebuah rumah sepi bila siang. Ada beberapa bunga dirumah itu. Satu bunga
seperti karpet hijau aku tak tahu namanya. Capung-capung sudah mulai menghilang
seakan senja telah berganti gelap. Akupun melangkah pelan-pelan clep. . . . .
aku menagkapnya dengan ibu jari tangan kanan dan jari telunjuk. Ah, alangkah
manis capung itu.
“hai
anakku lelaki. Perjakaku sendiri, kok masih mainan saja. Sudah candik ala,
sudah senja.” Suara itu mengagetkankau. Perempuan pemilik rumah dengan gaun
ungu sudah di ambang pintu. Kenapa dia menyapaku “anakku lelakiku perjakaku
sendiri.” Itu sapaan yang tak lazim untukku. Aku yakin ibuku pun dulu tak
pernah menyapaku begitu. Tapi aku merasa pernah mendengar suara itu dulu.
Jika
aku dalam kondisi demikian aku merasa sedang mabuk.
Aku
langsung pulang. Ada rasa perasaan aku tiba-tiba yang mendekap dada. Setelah
itu aku tak berani dekat-dekat rumahnya. Meski rumahku hanya berjarak tujuh
rumah dari rumahnya. Setiap kali aku melewati rumahnya aku akn belarinkencang.
Tak peduli siang dan malam. Ternyata perempuan itu menjelma hantu bagiku. Hantu
yang harus didingkirkan tetapi mengundang untuk dilihat dan diakrabi.
Tak ada
yang tahu pasi namanya, yang jelas dia usianya 12 tahun. Dia biasa disapa joko.
Dia trlahir tepa peristiwa berdarah 12 tahun lalu, bulan ketiga. Saat rembulan
bersinar, saat terjadi perang dengan kampung sebelah.
Sepanjang
usia, dia tak puya teman seakan-akan dia tak butuh kawan. Dia selalu bermain
sendiri. Terhadap buga-bunga, anaman dpinggir jalan, padi-padi di sawah, maupun
terhadap capung-capung yang kerap dia tangkap lalu dia bebaskan dengan senyum
terkulum.
“Aku
bisa mendengan mereka bicara, menyapaku dan mengajakku bermain!”. Joko akan
berkata demikian pada ayahnya, setiap ayanhnya menyentak keasyikannya. Sejak
dia berusia lima tahun dia sudah di tinggal ibunya ke alam baka. Ibunya mati
karena sakit perasaan. Karena ayanhnya terlalu sering berkunjung ke rumah pagar
beluntas yang berjarak tujuh rumah dari rumahya. Joko pun menyimoan sesuatu
tentang umah itu, antara rindu dan takut. Joko kerap memetik bunga sepatu, lalu
diselipkan ke telinganya.
Joko
berkata pada ayahnya, satu-satunya orang yang suaranya kerap sampai di gendang
telinganya. “Aku seperti mendengarbunyi terompet. Aku seperti di padang-padang
gembla. Aku naik kuda, main peran-perangan, berhadapan dengan musuh, tapi aku
tak pernah melihat musuh. Aku tidak diburu tetapi juga diburu.”
Hampir
setiap senja, joko terpaku. Dia mendengar suara lain, elain suara capng
belalang, juga bnatang, juga ayahnya. Dia mendengar suara sapa dari ruah yang
dia nbayangkan dalam kabut kedamainan. Rumah yang memsona sekaligus rahasia.
Dia mendengar sapa yang teramat akrab, sekaligus jauh. Dia mendengar tapi tak
ingin merekamnya. Dia ingin megusir pendengaran yang telah merusak heningnya,
merusak gendang elinganya dengan suara baru, atausuara lama yang teranga dari
endapan jiwa.
Aku tak
pernah bermimpi, tapi semalam aku bermimpi.
Aku
menetek susu diperempuan bergaun ugu, dia lali kupanggil ibu dengan sepenuh
kalbu. Tubuhku lalu membesar sebesar ayah. Tetapi tetap tidur bersama perepuan
itu. Aku selalu disampingnya bila malam tiba, bila hujan menitipkan dingin pada
kulit dan caca, bila alam terasa demikian sepi. Ketika aku lelah dari pandangan
gembala kuda-kuda, aku lalu kembali kepangkuannya. Dalam sebuah pertempuran
penghabisan aku terluka, sekarat dan hampir mati, dia datang mmanggil namaku,
lalu menyiramkan air ke kepalaku. Akubangkit kembali. Aku menjelma seorang
ksatria, mengunggang kuda dan selalu menang perang.
Tapi,
ketika aku bercerita pada ayanh, tentan mimpi bertemu dengan perempuan
menakutkan itu, dia hanya termangu yah lalu berkata “Kenapa ka usor anakku,
kemana kau ungsikan dia?.” Aku siam seribu bahasa. Aku merasa ayahku sudah
gila.
Nama : Ahmad Syifa’ S.
Kelas : IX-A
No. :03
0 komentar:
Posting Komentar