Hubungan
iman, islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang
satu dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat
segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga
tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Iman
itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang akan
mengejawantah dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlakiah
manusia sehari-hari adalah didasari/diwarnai oleh apa yang dipercayainya. Kalau
kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu pula sebaliknya.
Iman
yang tertanam di dada memberi inspirasi positif kepada seseorang untuk berlaku
dan beramal shaleh. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan jiwa dan
cara berpikir positif. Perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan
pembeharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita,
keinginan-keinginan dan kebiasaan (Yusuf Qadlawi, 1977: 251).
Melakukan
pembaruan jiwa, mengubah pandangan dan semangat adalah hal yang berat dan
sulit, karena di dalam diri manusia terdapat berbagai keadaan dan sifat. Nafsu
dan syahwat adalah dua kekuatan yang cendrung mendorong ke arah perbuatan
negatif, menyimpang dari akal sehat dan syari’at agama. Al-Qur’an membenarkan
hal itu.[1]
Keimanan
kepada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara
manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, mendapatkan petunjuk sehingga
menjadi orang yang beriman, adalah kenikmatan terbesar yang dimiliki oleh
seseorang. Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan
lidah saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang
sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi
seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya,
seperti cahaya yang disorotkan oleh matahari.
Salah
satu kesan dari iman ialah apabila Allah dan Rasul-Nya dirasakan lebih dicintai
olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal ini wajib ditampakkan, baik dalam
ucapan, perbuatan dan segala gerak-geriknya dalam pergaulan maupun sewaktu
sendirian.
Dalam
Al Qur’an, iman itu selalu dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai syarat
bahwa iman yang disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan rukun-rukun
Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Di
antaranya dalam Al Qur’an Allah berfirman sebagai berikut:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah
dari padanya
(QS. Al kahfi: 107-108)
Dari
ayat ini nampak jelas bahwa iman yang dapat membawa ke arah kebahagian adalah
yang disertai dengan amal perbuatan yang baik.[2]
Iman
adalah landasan tempat berpijak atau sebagai tali yang menjadi tempat
bergantungnya dalam kehidupan ini. Lebih jelas lagi adalah ibarat yang
diberikan oleh S. Abul ‘Ala Al Maududi tentang iman, bahwa iman itu
laksana/ibarat urat (akar) dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dia menyatakan:
“Hubungan antara Islam dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan
uratnya, demikian pulalah, mustahil seseorang bisa menjadi muslim tanpa
mempunyai iman.
Disamping
adanya hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara
ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada
segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal.
Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan
merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.[3]
0 komentar:
Posting Komentar