-->

Senin, 26 November 2012

Sekejap Cerpen


KISAH TIGA AYAH YANG DITUDUH GILA

Di mataku perempuan itu bergaun ungu. Gaun terusan dengan motif kembang-kembang putih diantara dada dan perut. Wajahnya ayu dan segar dengan hidung yang bangir. Hingga kini aku datang dengan pandangan sekelebat. Persoalannya sederhana, karena aku pernah disapa dengan sapaan yang membuatku gugup. Aku merasa pernah akrab dengannya tapi tak tahu kapan.
                Kala itu senja. Aku bermain dipagar tanaman dengan kupu-kupu. Kemudian sampailah aku ke sebuah rumah sepi bila siang. Ada beberapa bunga dirumah itu. Satu bunga seperti karpet hijau aku tak tahu namanya. Capung-capung sudah mulai menghilang seakan senja telah berganti gelap. Akupun melangkah pelan-pelan clep. . . . . aku menagkapnya dengan ibu jari tangan kanan dan jari telunjuk. Ah, alangkah manis capung itu.
                “hai anakku lelaki. Perjakaku sendiri, kok masih mainan saja. Sudah candik ala, sudah senja.” Suara itu mengagetkankau. Perempuan pemilik rumah dengan gaun ungu sudah di ambang pintu. Kenapa dia menyapaku “anakku lelakiku perjakaku sendiri.” Itu sapaan yang tak lazim untukku. Aku yakin ibuku pun dulu tak pernah menyapaku begitu. Tapi aku merasa pernah mendengar suara itu dulu.
                Jika aku dalam kondisi demikian aku merasa sedang mabuk.
                Aku langsung pulang. Ada rasa perasaan aku tiba-tiba yang mendekap dada. Setelah itu aku tak berani dekat-dekat rumahnya. Meski rumahku hanya berjarak tujuh rumah dari rumahnya. Setiap kali aku melewati rumahnya aku akn belarinkencang. Tak peduli siang dan malam. Ternyata perempuan itu menjelma hantu bagiku. Hantu yang harus didingkirkan tetapi mengundang untuk dilihat dan diakrabi.
                Tak ada yang tahu pasi namanya, yang jelas dia usianya 12 tahun. Dia biasa disapa joko. Dia trlahir tepa peristiwa berdarah 12 tahun lalu, bulan ketiga. Saat rembulan bersinar, saat terjadi perang dengan kampung sebelah.
                Sepanjang usia, dia tak puya teman seakan-akan dia tak butuh kawan. Dia selalu bermain sendiri. Terhadap buga-bunga, anaman dpinggir jalan, padi-padi di sawah, maupun terhadap capung-capung yang kerap dia tangkap lalu dia bebaskan dengan senyum terkulum.
                “Aku bisa mendengan mereka bicara, menyapaku dan mengajakku bermain!”. Joko akan berkata demikian pada ayahnya, setiap ayanhnya menyentak keasyikannya. Sejak dia berusia lima tahun dia sudah di tinggal ibunya ke alam baka. Ibunya mati karena sakit perasaan. Karena ayanhnya terlalu sering berkunjung ke rumah pagar beluntas yang berjarak tujuh rumah dari rumahya. Joko pun menyimoan sesuatu tentang umah itu, antara rindu dan takut. Joko kerap memetik bunga sepatu, lalu diselipkan ke telinganya.   
                Joko berkata pada ayahnya, satu-satunya orang yang suaranya kerap sampai di gendang telinganya. “Aku seperti mendengarbunyi terompet. Aku seperti di padang-padang gembla. Aku naik kuda, main peran-perangan, berhadapan dengan musuh, tapi aku tak pernah melihat musuh. Aku tidak diburu tetapi juga diburu.”
                Hampir setiap senja, joko terpaku. Dia mendengar suara lain, elain suara capng belalang, juga bnatang, juga ayahnya. Dia mendengar suara sapa dari ruah yang dia nbayangkan dalam kabut kedamainan. Rumah yang memsona sekaligus rahasia. Dia mendengar sapa yang teramat akrab, sekaligus jauh. Dia mendengar tapi tak ingin merekamnya. Dia ingin megusir pendengaran yang telah merusak heningnya, merusak gendang elinganya dengan suara baru, atausuara lama yang teranga dari endapan jiwa.
                Aku tak pernah bermimpi, tapi semalam aku bermimpi.
                Aku menetek susu diperempuan bergaun ugu, dia lali kupanggil ibu dengan sepenuh kalbu. Tubuhku lalu membesar sebesar ayah. Tetapi tetap tidur bersama perepuan itu. Aku selalu disampingnya bila malam tiba, bila hujan menitipkan dingin pada kulit dan caca, bila alam terasa demikian sepi. Ketika aku lelah dari pandangan gembala kuda-kuda, aku lalu kembali kepangkuannya. Dalam sebuah pertempuran penghabisan aku terluka, sekarat dan hampir mati, dia datang mmanggil namaku, lalu menyiramkan air ke kepalaku. Akubangkit kembali. Aku menjelma seorang ksatria, mengunggang kuda dan selalu menang perang.
                Tapi, ketika aku bercerita pada ayanh, tentan mimpi bertemu dengan perempuan menakutkan itu, dia hanya termangu yah lalu berkata “Kenapa ka usor anakku, kemana kau ungsikan dia?.” Aku siam seribu bahasa. Aku merasa ayahku sudah gila.




Nama         : Ahmad Syifa’ S.
Kelas          : IX-A
No.             :03  


0 komentar:

Posting Komentar

Penayangan Blog