-->

Kamis, 06 Desember 2012

Masjidil Haram

Menurut keyakinan umat Islam, Ka'bah atau nama lainnyaBakkah pertama sekali dibina oleh Nabi Adam. Dan kemudian dilanjutkan pada masa Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya, Nabi Ismail yang meninggikan dasar - dasar Ka'bah, dan sekaligus membangun masjid di sekitar Ka'bah tersebut. Ka'bah kurang lebih terletak di tengah masjidil Haram: tingginya mencapai limabelas hasta; bentuknya kubus batu besar. [1].
Selanjutnya perluasan Masjidil Haram dimulai pada tahun 638 sewaktu khalifah Umar bin Khattab, dengan membeli rumah-rumah di sekeliling Ka'bah dan diruntuhkan untuk tujuan perluasan, dan kemudian dilanjutkan lagi pada masa khalifah Usman bin Affan sekitar tahun 647 M.
Menurut hadits shahih, satu kali salat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Satu kali salat di Masjid Nabawi sama dengan 1.000 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Adapun satu kali salat di Masjidil Aqsha sama dengan 250 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi..
Seluruh umat islam diperintah untuk memalingkan wajahnya/hatinya kearah masjidil haram dimanapun berada, hal ini di perkuat dengan surah al-baqarah ayat 149 dan 150. perintah ini hampir sama derajatnya dengan perintah Allah yang lain seperti hal melakukan sholat, zakat, puasa, haji sebagai wujud hati yang terikat dan ingat kepada Allah dalam segala hal duniawi ini.

Masjidil Haram
Beyt-i Haram.jpg Masjidil Haram
Letak Bendera Arab Saudi Makkah, Saudi Arabia
Koordinat geografi 21.422°LU 39.826°BTKoordinat: 21.422°LU 39.826°BT
Deskripsi arsitektur
Spesifikasi
Kapasitas 900,000 (menjadi 4.000.000 pada musim haji)
Menara 9
Tinggi menara 89 meter (292 kaki)

Wayang Purwa

Wayang purwa atau wayang kulit purwa. Kata purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis wayang kulit mulai dari wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya. Kemungkinan mengenai berita adanya wayang kulit purwa dapat dilihat dari adanya prasasti di ababd 11 pada zaman pemerintahan Erlangga yang menyebutkan:
Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap
yang artinya:
Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara
Petikan di atas adalah bait 59 dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (1030), salah satu sumber tertulis tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di Kerajaan Kediri.
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak seperti gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
  • Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).
  • Wayang Ageng; yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan.
  • Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari pada wayang biasa.
  • Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalku panjang tidak seimbang dengan badannya.
Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi. Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi dalang lainnya.
Ki Entus Susumono dari Tegal bahkan telah banyak membuat kreasi wayang kulit ini, mulai dari wayang planet, wayang tokoh kartun seperti superman, batman, ksatria baja hitam, robot, dinosaurus, dan wayang Rai- Wong (bermuka orang) - tokoh George Walker Bush, Saddam Hussein, sampai pada tokoh-tokoh pejabat pemerintah. Ki Entus juga menggabungkan wayang gagrak Cirebonan dengan Wayang Gagrak Surakarta (bentuk bagian atas wayang Cirebon dan bawah Surakarta).
Penambahan tokoh wayang dalam pergelaran wayang kulit purwa juga semakin marak, misalnya dengan ditambahkannya berbagai boneka wayang dari tokoh polisi, Helikopter, ambulans, barisan Tentara, Pemain drum band, sampai tokoh Mbah Marijan.

Wayang Kulit




Pagelaran wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

My Indonesia

Geography

Archipelago of 17,508 islands (6,000 inhabited); straddles equator; strategic location astride or along major sea lanes from Indian Ocean to Pacific Ocean

Location:

Southeastern Asia, archipelago between the Indian Ocean and the Pacific Ocean

Geographic coordinates:

5 00 S, 120 00 E

Area:

total: 1,904,569 sq km land: 1,811,569 sq km water: 93,000 sq km

Size comparison: slightly less than three times the size of Texas

Land Boundaries:

total: 2,830 km border countries: Timor-Leste 228 km, Malaysia 1,782 km, Papua New Guinea 820 km

Coastline:

54,716 km

Maritime claims:

measured from claimed archipelagic straight baselines territorial sea: 12 nm exclusive economic zone: 200 nm

Climate:

tropical; hot, humid; more moderate in highlands

Terrain:

mostly coastal lowlands; larger islands have interior mountains

Elevation extremes:

lowest point: Indian Ocean 0 m highest point: Puncak Jaya 5,030 m

Natural resources:

petroleum, tin, natural gas, nickel, timber, bauxite, copper, fertile soils, coal, gold, silver

Land use:

arable land: 11.03% permanent crops: 7.04% other: 81.93% (2005)

Irrigated land:

67,220 sq km (2003)

Natural hazards:

occasional floods; severe droughts; tsunamis; earthquakes; volcanoes; forest fires volcanism: Indonesia contains the most volcanoes of any country in the world - some 76 are historically active; significant volcanic activity occurs on Java, western Sumatra, the Sunda Islands, Halmahera Island, Sulawesi Island, Sangihe Island, and in the Banda Sea; Merapi (elev. 2,968 m), Indonesia's most active volcano and in eruption since 2010, has been deemed a "Decade Volcano" by the International Association of Volcanology and Chemistry of the Earth's Interior, worthy of study due to its explosive history and close proximity to human populations; other notable historically active volcanoes include Agung, Awu, Karangetang, Krakatau (Krakatoa), Makian, Raung, and Tambora

Current Environment Issues:

deforestation; water pollution from industrial wastes, sewage; air pollution in urban areas; smoke and haze from forest fires

International Environment Agreements:

party to: Biodiversity, Climate Change, Climate Change-Kyoto Protocol, Desertification, Endangered Species, Hazardous Wastes, Law of the Sea, Ozone Layer Protection, Ship Pollution, Tropical Timber 83, Tropical Timber 94, Wetlands signed, but not ratified: Marine Life Conservation


 People

Population:

248,216,193 (July 2012 est.)

Age structure:

0-14 years: 27.3% (male 34,165,213/female 32,978,841) 15-64 years: 66.5% (male 82,104,636/female 81,263,055) 65 years and over: 6.1% (male 6,654,695/female 8,446,603) (2011 est.)

Median age:

total: 28.5 years male: 28 years female: 29.1 years (2012 est.)

Population growth rate:

1.04% (2012 est.)

Birth rate:

17.76 births/1,000 population (2012 est.)

Death rate:

6.28 deaths/1,000 population (July 2012 est.)

Net migration rate:

-1.08 migrant(s)/1,000 population (2012 est.)

Sex ratio:

at birth: 1.05 male(s)/female under 15 years: 1.04 male(s)/female 15-64 years: 1.01 male(s)/female 65 years and over: 0.78 male(s)/female total population: 1 male(s)/female (2011 est.)

Infant mortality rate:

total: 26.99 deaths/1,000 live births male: 31.54 deaths/1,000 live births female: 22.21 deaths/1,000 live births (2012 est.)

Life expectancy at birth:

total population: 71.62 years male: 69.07 years female: 74.29 years (2012 est.)

Total fertility rate:

2.23 children born/woman (2012 est.)

HIV/AIDS - adult prevalence rate:

0.2% (2009 est.)

HIV/AIDS - people living with HIV/AIDS:

310,000 (2009 est.)

HIV/AIDS - deaths:

8,300 (2009 est.)

Nationality:

noun: Indonesian(s) adjective: Indonesian

Ethnic groups:

Javanese 40.6%, Sundanese 15%, Madurese 3.3%, Minangkabau 2.7%, Betawi 2.4%, Bugis 2.4%, Banten 2%, Banjar 1.7%, other or unspecified 29.9% (2000 census)

Religions:

Muslim 86.1%, Protestant 5.7%, Roman Catholic 3%, Hindu 1.8%, other or unspecified 3.4% (2000 census)

Languages:

Bahasa Indonesia (official, modified form of Malay), English, Dutch, local dialects (of which the most widely spoken is Javanese)

Literacy:

definition: age 15 and over can read and write total population: 90.4% male: 94% female: 86.8% (2004 est.)


 Government

Country name:

conventional long form: Republic of Indonesia conventional short form: Indonesia local long form: Republik Indonesia local short form: Indonesia former: Netherlands East Indies, Dutch East Indies

Government type:

republic

Capital:

name: Jakarta geographic coordinates: 6 10 S, 106 49 E time difference: UTC+7 (12 hours ahead of Washington, DC during Standard Time) note: Indonesia is divided into three time zones

Administrative divisions:

30 provinces (provinsi-provinsi, singular - provinsi), 2 special regions* (daerah-daerah istimewa, singular - daerah istimewa), and 1 special capital city district** (daerah khusus ibukota); Aceh*, Bali, Banten, Bengkulu, Gorontalo, Jakarta Raya**, Jambi, Jawa Barat (West Java), Jawa Tengah (Central Java), Jawa Timur (East Java), Kalimantan Barat (West Kalimantan), Kalimantan Selatan (South Kalimantan), Kalimantan Tengah (Central Kalimantan), Kalimantan Timur (East Kalimantan), Kepulauan Bangka Belitung (Bangka Belitung Islands), Kepulauan Riau (Riau Islands), Lampung, Maluku, Maluku Utara (North Maluku), Nusa Tenggara Barat (West Nusa Tenggara), Nusa Tenggara Timur (East Nusa Tenggara), Papua, Papua Barat (West Papua), Riau, Sulawesi Barat (West Sulawesi), Sulawesi Selatan (South Sulawesi), Sulawesi Tengah (Central Sulawesi), Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi), Sulawesi Utara (North Sulawesi), Sumatera Barat (West Sumatra), Sumatera Selatan (South Sumatra), Sumatera Utara (North Sumatra), Yogyakarta* note: following the implementation of decentralization beginning on 1 January 2001, regencies and municipalities have become the key administrative units responsible for providing most government services

Independence:

17 August 1945 (declared); 27 December 1949 (recognized by the Netherlands); note - in August 2005 the Netherlands announced that it had recognized de facto Indonesian independence on 17 August 1945

National holiday:


Constitution:

August 1945; abrogated by Federal Constitution of 1949 and Provisional Constitution of 1950, restored 5 July 1959; series of amendments concluded in 2002

Legal system:

civil law system based on the Roman-Dutch model and influenced by customary law

Suffrage:

17 years of age; universal and married persons regardless of age

Executive branch:

chief of state: President Susilo Bambang YUDHOYONO (since 20 October 2004); Vice President BOEDIONO (since 20 October 2009); note - the president is both the chief of state and head of government head of government: President Susilo Bambang YUDHOYONO (since 20 October 2004); Vice President BOEDIONO (since 20 October 2009) cabinet: Cabinet appointed by the president (For more information visit the World Leaders website ) elections: president and vice president elected for five-year terms (eligible for a second term) by direct vote of the citizenry; election last held on 8 July 2009 (next to be held in 2014) election results: Susilo Bambang YUDHOYONO elected president; percent of vote - Susilo Bambang YUDHOYONO 60.8%, MEGAWATI Sukarnoputri 26.8%, Jusuf KALLA 12.4%

Legislative branch:

People's Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat or MPR) is the upper house; it consists of members of the DPR and DPD and has role in inaugurating and impeaching the president and in amending the constitution but does not formulate national policy; House of Representatives or Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (560 seats, members elected to serve five-year terms), formulates and passes legislation at the national level; House of Regional Representatives (Dewan Perwakilan Daerah or DPD), constitutionally mandated role includes providing legislative input to DPR on issues affecting regions (132 members, four from each of Indonesia's 30 provinces, two special regions, and one special capital city district) elections: last held on 9 April 2009 (next to be held in 2014) election results: percent of vote by party - PD 20.9%, GOLKAR 14.5%, PDI-P 14.0%, PKS 7.9%, PAN 6.0%, PPP 5.3%, PKB 4.9%, GERINDRA 4.5%, HANURA 3.8%, others 18.2%; seats by party - PD 148, GOLKAR 107, PDI-P 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, GERINDRA 26, HANURA 17 note: 29 other parties received less than 2.5% of the vote so did not obtain any seats; because of election rules, the number of seats won does not always follow the percentage of votes received by parties

Judicial branch:

Supreme Court or Mahkamah Agung is the final court of appeal but does not have the power of judicial review (justices are appointed by the president from a list of candidates selected by the legislature); in March 2004 the Supreme Court assumed administrative and financial responsibility for the lower court system from the Ministry of Justice and Human Rights; Constitutional Court or Mahkamah Konstitusi (invested by the president on 16 August 2003) has the power of judicial review, jurisdiction over the results of a general election, and reviews actions to dismiss a president from office; Labor Court under supervision of Supreme Court began functioning in January 2006; anti-corruption courts have jurisdiction over corruption cases brought by the independent Corruption Eradication Commission

Political parties and leaders:

Democrat Party or PD [Anas URBANINGRUM]; Functional Groups Party or GOLKAR [Aburizal BAKRIE]; Great Indonesia Movement Party or GERINDRA [SUHARDI]; Indonesia Democratic Party-Struggle or PDI-P [MEGAWATI Sukarnoputri]; National Awakening Party or PKB [Muhaiman ISKANDAR]; National Mandate Party or PAN [Hatta RAJASA]; People's Conscience Party or HANURA [WIRANTO]; Prosperous Justice Party or PKS [Luthfi Hasan ISHAQ]; United Development Party or PPP [Suryadharma ALI]

Political pressure groups and leaders:

Commission for the "Disappeared" and Victims of Violence or KontraS; Indonesia Corruption Watch or ICW; Indonesian Forum for the Environment or WALHI; Islamic Defenders Front or FPI; People's Democracy Fortress or Bendera

International organization participation:

ADB, APEC, ARF, ASEAN, BIS, CICA (observer), CP, D-8, EAS, FAO, G-11, G-15, G-20, G-77, IAEA, IBRD, ICAO, ICC, ICRM, IDA, IDB, IFAD, IFC, IFRCS, IHO, ILO, IMF, IMO, IMSO, Interpol, IOC, IOM (observer), IPU, ISO, ITSO, ITU, ITUC, MIGA, MONUSCO, NAM, OECD (Enhanced Engagement, OIC, OPCW, PIF (partner), UN, UNAMID, UNCTAD, UNESCO, UNIDO, UNIFIL, UNMIL, UNWTO, UPU, WCO, WFTU, WHO, WIPO, WMO, WTO

Diplomatic representation in the US:

chief of mission: Ambassador Dino Patti DJALAL chancery: 2020 Massachusetts Avenue NW, Washington, DC 20036 telephone: [1] (202) 775-5200 FAX: [1] (202) 775-5365 consulate(s) general: Chicago, Houston, Los Angeles, New York, San Francisco

Diplomatic representation from the US:

chief of mission: Ambassador Scot A. MARCIEL embassy: Jalan Medan Merdeka Selatan 3-5, Jakarta 10110 mailing address: Unit 8129, Box 1, FPO AP 96520 telephone: [62] (21) 3435-9000 FAX: [62] (21) 385-7189 consulate general: Surabaya presence post: Medan consular agent: Bali


 Economy

Indonesia, a vast polyglot nation, grew an estimated 6.1% and 6.4% in 2010 and 2011, respectively. The government made economic advances under the first administration of President YUDHOYONO (2004-09), introducing significant reforms in the financial sector, including tax and customs reforms, the use of Treasury bills, and capital market development and supervision. During the global financial crisis, Indonesia outperformed its regional neighbors and joined China and India as the only G20 members posting growth in 2009. The government has promoted fiscally conservative policies, resulting in a debt-to-GDP ratio of less than 25%, a small current account surplus, a fiscal deficit below 2%, and historically low rates of inflation. Fitch and Moody's upgraded Indonesia's credit rating to investment grade in December 2011. Indonesia still struggles with poverty and unemployment, inadequate infrastructure, corruption, a complex regulatory environment, and unequal resource distribution among regions. The government in 2012 faces the ongoing challenge of improving Indonesia's insufficient infrastructure to remove impediments to economic growth, labor unrest over wages, and reducing its fuel subsidy program in the face of rising oil prices.

GDP (purchasing power parity):

GDP (purchasing power parity): $1.139 trillion (2011 est.) $1.07 trillion (2010 est.) $1.008 trillion (2009 est.) note: data are in 2011 US dollars

GDP (official exchange rate):

GDP (official exchange rate): $845.7 billion (2011 est.)

GDP - real growth rate:

6.5% (2011 est.) 6.2% (2010 est.) 4.6% (2009 est.)

GDP - per capita (PPP):

GDP - per capita (PPP): $4,700 (2011 est.) $4,500 (2010 est.) $4,300 (2009 est.) note: data are in 2011 US dollars

GDP - composition by sector:

agriculture: 14.7% industry: 47.2% services: 38.1% (2011 est.)

Labor force:

117.4 million (2011 est.)

Labor force - by occupation:

agriculture: 38.3% industry: 12.8% services: 48.9% (2010 est.)

Unemployment rate:

6.6% (2011 est.) 7.1% (2010 est.)

Population below poverty line:

13.33% (2010)

Household income or consumption by percentage share:

lowest 10%: 3.3% highest 10%: 29.9% (2009)

Distribution of family income - Gini index:

36.8 (2009) 39.4 (2005)

Inflation rate (consumer prices):

Inflation rate (consumer prices): 5.4% (2011 est.) 5.1% (2010 est.)

Investment (gross fixed):

Investment (gross fixed): 32% of GDP (2011 est.)

Budget:

revenues: $134.2 billion expenditures: $144.1 billion (2011 est.)

Public debt:

24.4% of GDP (2011 est.) 25.7% of GDP (2010 est.)

Agriculture - products:

rice, cassava (manioc), peanuts, rubber, cocoa, coffee, palm oil, copra; poultry, beef, pork, eggs

Industries:

petroleum and natural gas, textiles, apparel, footwear, mining, cement, chemical fertilizers, plywood, rubber, food, tourism

Industrial production growth rate:

4.1% (2011 est.)

Electricity - production:

141.2 billion kWh (2008 est.)

Electricity - consumption:

126.1 billion kWh (2008 est.)

Electricity - exports:

0 kWh (2009 est.)

Electricity - imports:

0 kWh (2009 est.)

Oil - production:

1.03 million bbl/day (2010 est.)

Oil - consumption:

1.292 million bbl/day (2010 est.)

Oil - exports:

404,100 bbl/day (2009 est.)

Oil - imports:

767,400 bbl/day (2009 est.)

Oil - proved reserves:

3.99 billion bbl (1 January 2011 est.)

Natural gas - production:

82.8 billion cu m (2010 est.)

Natural gas - consumption:

40.47 billion cu m (2010 est.)

Natural gas - exports:

42.33 billion cu m (2010 est.)

Natural gas - imports:

0 cu m (2010 est.)

Natural gas - proved reserves:

3.001 trillion cu m (1 January 2011 est.)

Current account balance:

$2.069 billion (2011 est.) $5.146 billion (2010 est.)

Exports:

$201.5 billion (2011 est.) $158.1 billion (2010 est.)

Exports - commodities:

oil and gas, electrical appliances, plywood, textiles, rubber

Exports - partners:

Japan 16.6%, China 11.3%, Singapore 9.1%, US 8.1%, South Korea 8.1%, India 6.6%, Malaysia 5.4% (2011)

Imports:

$166.1 billion (2011 est.) $127.4 billion (2010 est.)

Imports - commodities:

machinery and equipment, chemicals, fuels, foodstuffs

Imports - partners:

China 14.8%, Singapore 14.6%, Japan 11%, South Korea 7.3%, US 6.1%, Thailand 5.9%, Malaysia 5.9% (2011)

Reserves of foreign exchange and gold:

$110.1 billion (31 December 2011 est.) $96.21 billion (31 December 2010 est.)

Debt - external:

$186.9 billion (31 December 2011 est.) $179.1 billion (31 December 2010 est.)

Stock of direct foreign investment - at home:

$104.8 billion (31 December 2011 est.) $86.61 billion (31 December 2010 est.)

Stock of direct foreign investment - abroad:

$40.57 billion (31 December 2011 est.) $32.85 billion (31 December 2010 est.)

Market value of publicly traded shares:

$390.1 billion (31 December 2011) $360.4 billion (31 December 2010) $178.2 billion (31 December 2009)

Exchange rates:

Indonesian rupiah (IDR) per US dollar - 8,696.1 (2011 est.) 9,090.43 (2010 est.) 10,389.9 (2009) 9,698.9 (2008) 9,143 (2007)

Fiscal year:

calendar year


 Communications

Telephones in use:

37.96 million (2009) country comparison to the world: 7

Cellular Phones in use:

220 million (2009)

Telephone system:

general assessment: domestic service includes an interisland microwave system, an HF radio police net, and a domestic satellite communications system; international service good domestic: coverage provided by existing network has been expanded by use of over 200,000 telephone kiosks many located in remote areas; mobile-cellular subscribership growing rapidly international: country code - 62; landing point for both the SEA-ME-WE-3 and SEA-ME-WE-4 submarine cable networks that provide links throughout Asia, the Middle East, and Europe; satellite earth stations - 2 Intelsat (1 Indian Ocean and 1 Pacific Ocean)

Radio broadcast stations:


Television broadcast stations:


Internet country code:

.id

Internet hosts:

1.342 million (2010)

Internet users:

20 million (2009)


 Transportation

Airports:

676 (2012) country comparison to the world: 10

Airports (paved runways):

total: 185 over 3,047 m: 4 2,438 to 3,047 m: 22 1,524 to 2,437 m: 51 914 to 1,523 m: 71 under 914 m: 37 (2012)

Airports (unpaved runways):

total: 491 1,524 to 2,437 m: 5 914 to 1,523 m: 24 under 914 m: 462 (2012)

Heliports:

76 (2012)

Pipelines:

condensate 812 km; condensate/gas 73 km; gas 7,165 km; oil 5,984 km; oil/gas/water 12 km; refined products 617 km; water 44 km (2010)

Railways:

total: 5,042 km narrow gauge: 5,042 km 1.067-m gauge (565 km electrified) (2008)

Roadways:

total: 437,759 km paved: 258,744 km unpaved: 179,015 km (2008)

Waterways:

21,579 km (2011)

Merchant marine:

total: 1,340 by type: bulk carrier 105, cargo 618, chemical tanker 69, container 120, liquefied gas 28, passenger 49, passenger/cargo 77, petroleum tanker 244, refrigerated cargo 6, roll on/roll off 12, specialized tanker 1, vehicle carrier 11 foreign-owned: 69 (China 1, France 1, Greece 1, Japan 8, Jordan 1, Malaysia 1, Norway 3, Singapore 46, South Korea 2, Taiwan 1, UK 2, US 2) registered in other countries: 95 (Bahamas 2, Cambodia 2, China 2, Hong Kong 10, Liberia 4, Marshall Islands 1, Mongolia 2, Panama 10, Singapore 60, Tuvalu 1, unknown 1) (2010)

Ports and terminals:

Banjarmasin, Belawan, Kotabaru, Krueg Geukueh, Palembang, Panjang, Sungai Pakning, Tanjung Perak, Tanjung Priok


 Military


Military branches:

Indonesian Armed Forces (Tentara Nasional Indonesia, TNI): Army (TNI-Angkatan Darat (TNI-AD)), Navy (TNI-Angkatan Laut (TNI-AL); includes marines (Korps Marinir, KorMar), naval air arm), Air Force (TNI-Angkatan Udara (TNI-AU)), National Air Defense Command (Kommando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas)) (2011)

Military service age and obligation:

18 years of age for selective compulsory and voluntary military service; 2-year conscript service obligation, with reserve obligation to age 45 (officers); Indonesian citizens only (2008)

Manpower available for military service:

males age 16-49: 65,847,171 females age 16-49: 63,228,017 (2010 est.)

Manpower fit for military service:

males age 16-49: 54,264,299 females age 16-49: 53,274,361 (2010 est.)

Senin, 03 Desember 2012

G 30 S/PKI

Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa


Sumur Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian


Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian


Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan


Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Penayangan Blog