-->

Selasa, 27 November 2012

HUBUNGAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN



Hubungan iman, islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Iman itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang akan mengejawantah dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlakiah manusia sehari-hari adalah didasari/diwarnai oleh apa yang dipercayainya. Kalau kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu pula sebaliknya.
Iman yang tertanam di dada memberi inspirasi positif kepada seseorang untuk berlaku dan beramal shaleh. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan jiwa dan cara berpikir positif. Perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan pembeharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita, keinginan-keinginan dan kebiasaan (Yusuf Qadlawi, 1977: 251).
Melakukan pembaruan jiwa, mengubah pandangan dan semangat adalah hal yang berat dan sulit, karena di dalam diri manusia terdapat berbagai keadaan dan sifat. Nafsu dan syahwat adalah dua kekuatan yang cendrung mendorong ke arah perbuatan negatif, menyimpang dari akal sehat dan syari’at agama. Al-Qur’an membenarkan hal itu.[1]
Keimanan kepada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, mendapatkan petunjuk sehingga menjadi orang yang beriman, adalah kenikmatan terbesar yang dimiliki oleh seseorang. Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang disorotkan oleh matahari.
Salah satu kesan dari iman ialah apabila Allah dan Rasul-Nya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal ini wajib ditampakkan, baik dalam ucapan, perbuatan dan segala gerak-geriknya dalam pergaulan maupun sewaktu sendirian.
Dalam Al Qur’an, iman itu selalu dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai syarat bahwa iman yang disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Di antaranya dalam Al Qur’an Allah berfirman sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya (QS. Al kahfi: 107-108)
Dari ayat ini nampak jelas bahwa iman yang dapat membawa ke arah kebahagian adalah yang disertai dengan amal perbuatan yang baik.[2]
Iman adalah landasan tempat berpijak atau sebagai tali yang menjadi tempat bergantungnya dalam kehidupan ini. Lebih jelas lagi adalah ibarat yang diberikan oleh S. Abul ‘Ala Al Maududi tentang iman, bahwa iman itu laksana/ibarat urat (akar) dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dia menyatakan: “Hubungan antara Islam dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan uratnya, demikian pulalah, mustahil seseorang bisa menjadi muslim tanpa mempunyai iman.
Disamping adanya hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal. Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.[3]




Senin, 26 November 2012

FOR GAZA- PALESTINE

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Sekejap Cerpen


KISAH TIGA AYAH YANG DITUDUH GILA

Di mataku perempuan itu bergaun ungu. Gaun terusan dengan motif kembang-kembang putih diantara dada dan perut. Wajahnya ayu dan segar dengan hidung yang bangir. Hingga kini aku datang dengan pandangan sekelebat. Persoalannya sederhana, karena aku pernah disapa dengan sapaan yang membuatku gugup. Aku merasa pernah akrab dengannya tapi tak tahu kapan.
                Kala itu senja. Aku bermain dipagar tanaman dengan kupu-kupu. Kemudian sampailah aku ke sebuah rumah sepi bila siang. Ada beberapa bunga dirumah itu. Satu bunga seperti karpet hijau aku tak tahu namanya. Capung-capung sudah mulai menghilang seakan senja telah berganti gelap. Akupun melangkah pelan-pelan clep. . . . . aku menagkapnya dengan ibu jari tangan kanan dan jari telunjuk. Ah, alangkah manis capung itu.
                “hai anakku lelaki. Perjakaku sendiri, kok masih mainan saja. Sudah candik ala, sudah senja.” Suara itu mengagetkankau. Perempuan pemilik rumah dengan gaun ungu sudah di ambang pintu. Kenapa dia menyapaku “anakku lelakiku perjakaku sendiri.” Itu sapaan yang tak lazim untukku. Aku yakin ibuku pun dulu tak pernah menyapaku begitu. Tapi aku merasa pernah mendengar suara itu dulu.
                Jika aku dalam kondisi demikian aku merasa sedang mabuk.
                Aku langsung pulang. Ada rasa perasaan aku tiba-tiba yang mendekap dada. Setelah itu aku tak berani dekat-dekat rumahnya. Meski rumahku hanya berjarak tujuh rumah dari rumahnya. Setiap kali aku melewati rumahnya aku akn belarinkencang. Tak peduli siang dan malam. Ternyata perempuan itu menjelma hantu bagiku. Hantu yang harus didingkirkan tetapi mengundang untuk dilihat dan diakrabi.
                Tak ada yang tahu pasi namanya, yang jelas dia usianya 12 tahun. Dia biasa disapa joko. Dia trlahir tepa peristiwa berdarah 12 tahun lalu, bulan ketiga. Saat rembulan bersinar, saat terjadi perang dengan kampung sebelah.
                Sepanjang usia, dia tak puya teman seakan-akan dia tak butuh kawan. Dia selalu bermain sendiri. Terhadap buga-bunga, anaman dpinggir jalan, padi-padi di sawah, maupun terhadap capung-capung yang kerap dia tangkap lalu dia bebaskan dengan senyum terkulum.
                “Aku bisa mendengan mereka bicara, menyapaku dan mengajakku bermain!”. Joko akan berkata demikian pada ayahnya, setiap ayanhnya menyentak keasyikannya. Sejak dia berusia lima tahun dia sudah di tinggal ibunya ke alam baka. Ibunya mati karena sakit perasaan. Karena ayanhnya terlalu sering berkunjung ke rumah pagar beluntas yang berjarak tujuh rumah dari rumahya. Joko pun menyimoan sesuatu tentang umah itu, antara rindu dan takut. Joko kerap memetik bunga sepatu, lalu diselipkan ke telinganya.   
                Joko berkata pada ayahnya, satu-satunya orang yang suaranya kerap sampai di gendang telinganya. “Aku seperti mendengarbunyi terompet. Aku seperti di padang-padang gembla. Aku naik kuda, main peran-perangan, berhadapan dengan musuh, tapi aku tak pernah melihat musuh. Aku tidak diburu tetapi juga diburu.”
                Hampir setiap senja, joko terpaku. Dia mendengar suara lain, elain suara capng belalang, juga bnatang, juga ayahnya. Dia mendengar suara sapa dari ruah yang dia nbayangkan dalam kabut kedamainan. Rumah yang memsona sekaligus rahasia. Dia mendengar sapa yang teramat akrab, sekaligus jauh. Dia mendengar tapi tak ingin merekamnya. Dia ingin megusir pendengaran yang telah merusak heningnya, merusak gendang elinganya dengan suara baru, atausuara lama yang teranga dari endapan jiwa.
                Aku tak pernah bermimpi, tapi semalam aku bermimpi.
                Aku menetek susu diperempuan bergaun ugu, dia lali kupanggil ibu dengan sepenuh kalbu. Tubuhku lalu membesar sebesar ayah. Tetapi tetap tidur bersama perepuan itu. Aku selalu disampingnya bila malam tiba, bila hujan menitipkan dingin pada kulit dan caca, bila alam terasa demikian sepi. Ketika aku lelah dari pandangan gembala kuda-kuda, aku lalu kembali kepangkuannya. Dalam sebuah pertempuran penghabisan aku terluka, sekarat dan hampir mati, dia datang mmanggil namaku, lalu menyiramkan air ke kepalaku. Akubangkit kembali. Aku menjelma seorang ksatria, mengunggang kuda dan selalu menang perang.
                Tapi, ketika aku bercerita pada ayanh, tentan mimpi bertemu dengan perempuan menakutkan itu, dia hanya termangu yah lalu berkata “Kenapa ka usor anakku, kemana kau ungsikan dia?.” Aku siam seribu bahasa. Aku merasa ayahku sudah gila.




Nama         : Ahmad Syifa’ S.
Kelas          : IX-A
No.             :03  


Penayangan Blog